Tap .. tap .. tap .. Suara langkah kaki itu makin mendekat. Keringat di sekujur tubuhku mengalir dengan deras. Mukaku merah saking ketakutannya. Air mataku mulai menetes. Aku menggigit bibirku. Terlihat sebuah bayangan seseorang berdiri tepat dibalik pintu lemari tempatku bersembunyi. Aku berdoa kepada Tuhan. Aku takut. Takut ! Beberapa menit kemudian, terlihat ada dua bayangan. Jantungku berdebar. Kurasakan air mataku mulai mengalir. Lalu semuanya menjadi gelap. Gelap.
******
“Apakah kamu baik-baik saja ?”, tanya seorang ibu kepadaku. “Aku dimana ?”, tanyaku kepada ibu itu. “Setelah kejadian itu, kamu pingsan di dalam lemari. Polisi menemukanmu. Lalu, polisi itu menelpon tante dan kami mengantarkan kamu ke rumah sakit”, kata ibu itu yang ternyata adalah tanteku, Tante Silva. Tiba-tiba, semua kejadian itu terasa terputar ulang dalam memoriku.
******
Semuanya dimulai saat aku pulang dari les. “Dina ! Cepat mandi dan segera turun. Kita mau makan malam”, teriak mamaku. Aku pun segera mandi dan turun ke bawah menuju ruang makan. “Kita bertiga lagi ?”, tanyaku. Semuanya mengangguk. Hhh .. Sudah sebulan ini, papaku pulang larut malam. Tidak ada yang tahu pasti ia pulang kapan. Bahkan, kakak ku, Kak Roni, pernah mencari-carinya karena ia tidak pulang selama dua malam. Kadang, kalau dia pulang, tercium bau alcohol dari mulutnya. Mamaku sudah berkali-kali menegur ayahku. Tapi itu pun tidak dihiraukannya. Aku tertunduk lemas. Malam ini kita hanya makan bertiga. Tanpa papaku. Saat kami sedang makan, bel rumah kami berbunyi. Mamaku segera membuka pintu. Aku dan kakak ku melanjutkan makanan kami. 5 menit, 10 menit, 20 menit telah berlalu. Tapi mamaku belum kunjung kembali ke ruang makan. Aku dan kakak ku melongok ke ruang tamu untuk melihat apa yang terjadi.
“Sudah kubilang berkali-kali, jangan mabuk-mabukan ! Kenapa sih kamu nggak pernah dengerin aku ?!”, teriak mamaku. “Heh .. siapa yang mabuk .. lo aja kali yang gila”, jawab papaku yang sedang mabuk. “Lagi ??” . “Hhh .. ia”, jawab kakak ku dengan nada lemas. Mama dan papa ku sering bertengkar. Aku bingung dengan mereka. Aku capek melihat mereka bertengkar. “Kita ke balkon kamar ku saja, yuk !”, ajak kakak ku dengan nada penuh semangat. Kakak ku, ya Kak Roni, ia yang selalu membuatku bisa tertawa. Ia selalu mengerti perasaanku. Aku senang punya kakak seperti itu.
Saat kami di balkon kamar Kak Roni , ia segera mengambil gitarnya dan memainkan lagu favoritku. Lagu slow itu benar-benar membuatku nyaman. Belum lagi ditambah hembusan angin malam dan pemandangan kota Jakarta pada saat malam, indah sekali. Memang, balkon kamar Kak Roni menghadap ke arah luar, jadi aku dapat menikmati pemandangan dari atas sini. Lagu dan pemandangan yang kunikmati di sini, membuatku lupa atas apa yang tadi baru terjadi. Aku merasa damai.
Namun, itu tidak berlangsung lama. Semua kepenatanku kembali datang saat aku dan Kak Roni mendengar suara teriak minta tolong. Asalnya dari arah dapur. Aku dan Kak Roni segera turun untuk melihat apa yang terjadi. Aku melihat seorang wanita terduduk di lantai dapur dengan tangan yang berdarah. Dan, ya ampun ! Itu mama ku ! Di depannya kulihat ada seorang laki-laki yang memegang pisau, dan itu papa ku ! Astaga ! Papa ku mencoba untuk membunuh mamaku ! Aku tidak percaya dengan pemandangan yang kulihat. “Lebih baik kamu cepat bersembunyi. Sembunyilah di dalam lemariku. Cepat !”, kata Kak Roni kepadaku. Aku pun menurutinya. Aku sempat mengintip di balik tembok. Kakak ku membentak papaku. Mereka bertengkar. Kak Roni mencoba untuk melindungi mamaku. Papaku sempat menghujam lengan kiri Kak Roni dengan pisau. Aku tidak sanggup melihat apa lagi yang terjadi. Aku segera berlari dan bersembunyi di dalam lemari sesuai perintah Kak Roni. Dari dalam lemari, aku sempat mendengar suara teriakan-teriakan. Lalu aku pingsan di dalam lemari. Saat sadar, aku sudah disini, rumah sakit.
******
“Tante, kak Roni mana ? Mama mana ?” . “Hmm .. Lebih baik kamu istirahat aja ya dulu”, ucap Tante Silva. Hari berikutnya, aku bertanya hal yang sama pada Tante Silva. Tapi dijawab dengan perkataan yang sama pula. Begitu pula dengan hari-hari berikutnya. Tante Silva sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Entah apa itu, tapi ada kaitannya dengan Kak Roni dan mama. Memangnya, apa yang terjadi dengan mereka ? Aku makin penasaran.
******
“Berita hari ini. Tersangka kasus pembunuhan sadis, Jony Timothy, tadi pagi telah ditangkap oleh pihak kepolisian. Ia tega membunuh istri dan salah satu anaknya hanya karena tidak diijinkan untuk mabuk-mabukan. Kedua korban tewas adalah Lusi Aminarti, sang istri, dan Roni Kurniawan, salah satu anak nya. Sementara itu, anak nya yang paling bungsu, Dina Trovita, masih menjalani perawatan di rumah sakit”, ctek ..
Aku nggak nyangka dengan apa yang ku dengar tadi di berita. Jony Timothy ? Lusi Aminarti ? Roni Kurniawan ? dan DINA TROVITA ?! Itu tadi semua kan nama anggota keluarga ku ?! Aku langsung mematikan tv karena aku tidak sanggup lagi mendengarkan lanjutan dari berita itu. Jadi .. Kak Roni dan mama .. “Hwaa !!!!”, tangisku langsung pecah saat itu juga. Gak mungkin ! Gak mungkin ! Berita tadi pasti Cuma bohong ! Bohong ! “Dina ? Dina ? Kamu kenapa sayang ?” . “Mana mama dan Kak Roni ?! Mana ?!”, teriak ku pada Tante Silva. “Hmm .. Kamu istirahat dulu aja ya” . “Aku nggak butuh jawaban seperti itu ! Mana tante ?!” . “Mereka ..”, ucap tanteku. “Ternyata berita tadi benar. Mereka .. hiks .. udah .. hiks .. me .. meninggal .. kan ?” . Tante ku membisu. Ia hanya diam saja. “Jawab tante ! Itu benar kan ?!”, kata ku tidak tahan dengan semua penderitaan ini. “Ia”, ucap tanteku dengan nada suara lemah. “Kenapa tante selama ini ngebohongin aku ?! Kenapa ?! Tiap aku bertanya tentang hal itu kepada tante, tante selalu mengelak ! Kenapa tante nggak jujur dari awal ?! Tante tau, itu udah nyakitin aku ! Tante tau ?! Ha ?!”, nada ku sudah tak bisa kukendalikan. Emosiku sudah memuncak. “Dina, maafin tante” . “Mendingan sekarang tante keluar” . “Tapi Dina” . “Keluar !” . Tante ku pun keluar. “Hwaaa !!! Mama !! Kak Roni !! Hwaaa !!”, tangisku dalam kamar.
Sejak hari itu, aku hanya mengijinkan dokter dan suster untuk masuk ke kamar ku. Tante Silva, Om Farhan, sepupu-sepupu ku, teman-teman ku tidak ada satu pun yang kuijinkan masuk. Aku belum bisa menyembuhkan luka di hati ku. Luka karena papa tega membunuh mama dan Kak Roni. Luka karena tidak ada yang memberitahu dimana mereka. Dan luka karena merasa sudah dibohongi oleh Tante Silva. Aku nggak tahu mesti ngapain sekarang. Aku nggak mau tambah terluka lagi. Drrt .. drrt .. drrt .. Tiba-tiba blackberry ku bergetar. 1 new message. ‘Sms ? Dari siapa ya ?’, tanyaku dalam hati. Aku mulai membaca. “Din, gue tau lo pasti terpukul banget dengan kepergian nyokap dan kakak lo. Tapi lo nggak boleh gini terus. Sampe kapan lo nggak ngijinin semua orang untuk masuk ke kamar lo ? Kita kan khawatir sama keadaan lo. Asal lo tau Din, tiap Tante Silva datang dan dia nggak diijinkan masuk sama lo, dia nangis Din. Dia khawatir sama lo. Gue tau dia udah ngebohongin lo. Tapi itu juga buat kebaikan lo. Coba kalo misalnya dari awal Tante Silva udah bilang yang sebenarnya. Pasti lo lebih sakit lagi, Din. Waktu itu keadaan lo juga belum stabil kan ? Tante Silva Cuma mau nunggu waktu yang tepat buat bilang ke lo. Dia nggak mau kalo sampai lo jadi depress gara-gara ini. Gue harap lo ngerti”, begitulah isi sms itu. “Luna. Luna ? Sender nya Luna ?”, kata ku bingung. Luna adalah sahabat ku yang sekarang tinggal di Australia . Tapi kenapa dia bisa tahu hal ini ? Tante Silva ? Dia nangis ? Ya ampun ! Apa yang aku udah lakukan ?! Aku udah bikin banyak orang khawatir. Aku udah bikin Tante Silva, orang yang selama ini udah ngerawat aku di rumah sakit, nangis tiap aku nolak dia untuk masuk ke kamar ku ?! Hhh .. Kenapa aku nggak mikirin semua itu ? Aku masih punya mereka. Aku nggak sendiri di dunia ini. Maafin aku ya semuanya.
******
0 komentar:
Posting Komentar